Rabu, 11 November 2015

Tersenyumlah Lisa

           Lisa, begitulah ia akrab dipanggil.Gadis berkerudung yang selalu ceria, periang, dan ramah pada semua orang. Begitulah ia dahulu, sebelum kecelakaan mobil yang menewaskan kedua orang tuanya itu terjadi. Semenjak kejadian itu, Lisa berubah menjadi seorang pendiam dan pemurung. Sepertinya ia belum dapat merelakan peristiwa tersebut. Kami para sahabatnya, yaitu Aku, Galih, Dini, dan Rendy dan Kak Leo, yaitu kakaknya Lisa telah menempuh berbagai cara untuk membuat Lisa kembali dapat tersenyum lepas, namun hasilnya selalu nihil.

            Setahun telah berlalu, kami berlima kembali merencanakan sesuatu untuk Lisa. Besok,tanggal 22 Juni 2015 adalah HUT Jakarta yang ke-487 sekaligus hari ulang tahun Lisa yang ke-14. Kami berencana mengajaknya ke PRJ (Pesta Rakyat Jakarta) yang berlokasi di . Kak Leo sangat mendukung rencana kami. Sekarang adalah saat-saat penentuan. Akulah yang bertugas untuk mengajaknya. Aku pun memulai aksiku setelah bel istirahat berbunyi.

“Hai Lisa! Sedang apa?” sapaku sekadar basa-basi. “Ada apa Elli?” tanggapnya yang seolah tak menghiraukan pertanyaanku dan langsung menanyakan inti pembicaraan. Dengan gugup aku berkata, “Em begini... kemarin ayahku mendapat 5 tiket gratis ke PRJ dari perusahaannya, tapi ayah, ibu, dan kakak-kakakku sudah punya acara masing-masing pada malam itu. Jadi, aku mengajakmu, Rendy, Dini, dan Galih untuk pergi kesana bersamaku besok malam. Disana ada rumah hantu, pesta kembang api, komedi putar, pameran, pokoknya pasti bakal seru deh!” terangku antusias. “Jadi... kau mau ikut?”. Entah apa ia mendengarkanku atau tidak, sebab ia hanya terdian dalam posisi tidur di lipatan tangannya. Meskipun aku tahu dia tidak sedang tidur, namun menunggu jawaban yang tak kunjung datang selama 10 menit bukanlah hal yang menyenangkan. Akupun menyerah, dengan langkah gontai aku beranjak dari sana. “Tunggu...” Akupun berhenti melangkah dan menoleh. “Aku ikut...” jawabnya datar dengan seulas senyum getir di bibirnya. Bukan senyum ini yang kuinginkan darinya tapi tak apa, dia sudah setuju untuk ikut sudah membuatku senang tak kepalang. “Terima kasih Lisa!” seruku gembira. Lalu akupun segera berlari untuk menyampaikan berita gembira ini kepada teman-teman yang sedang menunggu di taman sekolah sambil berharap-harap cemas.

Malam yang ditunggu-tunggu pun tiba, kami berangkat dari rumahku pukul 07.00 WIB. Kami berangkat dengan menggunakan mobil keluargaku. Selama diperjalanan, kami terus berusaha mengajak Lisa mengobrol, namun ia tetap diam dan memandangi lututnya yang mungkin adalah satu-satunya hal menarik untuk dipandang baginya saat ini.

Setengah jam kemudian kami sampai di tempat tujuan. “Kita sampai!” seru Dini antusias. “Hahaha... Dini semangat banget nih!” komentar Rendy. “ Tau nih! Rame sendiri aja.” Tambah Galih sambil nyengir. “Sudah-sudah, mendingan kita segera turun deh. Nanti keburu ramai di pintu masuk. Benarkan Lisa?” tanyaku meminta persetujuan. Sekali lagi Lisa hanya mengangguk dan tersenyum getir. Rencana kami untuk menghiburnya selama diperjalanan pun gagal.

Setelah masuk kedalam PRJ, kami segera menuju tempat pameran. “Wah, miniatur negara-negara di dunia itu keren ya!” ungkapku pada Lisa setelah mengunjungi salah satu stand pameran. “Benar...” jawab Lisa lirih. Dan begitulah, selama kami berada di pameran, tak ada satupun hal ataupun perkataan kami yang memulihkan sifat Lisa. Begitu pula setelah kami mengunjungi food court, bazar, dan konser, semuanya gagal membuat Lisa kembali ceria. Sekarang yang tersisa dari rencana kami adalah pada arena wahana.

Kami terbagi menjadi 2 kelompok pada saat mencoba wahana rumah hantu yang merupakan salah satu wahana favorit Lisa. Kami terbagi menjadi Galih dengan Rendy dan Aku dengan Lisa, sementara Dini menunggu diluar sebab tak berani untuk ikut bersama kami. Berbagai macam setan-setan menghadang kami, mulai dari pocong, kuntilanak, tuyul, dan setan-setanan lainnya. Berkali-kali aku menjerit ketakutan, beda dengan Lisa yang bahkan tidak mengubah ekspresi wajahnya yang datar itu sama sekali.

Begitu kami berhasil keluar dari rumah hantu, lututku terasa lemas dan tubuhku terasa dingin minus satu derajat. “Oi, oi, kau kenapa Elli? Ketakutan?” ledek Galih jahil. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Rendy cemas. Dini dan Lisa hanya memandangiku dengan tatapan yang sama, tatapan khawatir. Lho, kok malah aku yang membuat cemas sih??? “Tidak apa-apa kok, rumah hantu mah kecil!” jawabku secepat kilat, padahal sih sebenarnya aku benar-benar ketakutan untungnya aku tak punya penyakit jantung. Semuanya tampak lega, begitupula dengan Lisa, tapi disaat yang lainnya telah kembali bercanda tawa, ia masih tampak murung.

Kamipun angkat kaki menuju tempat rencana terakhir, yaitu komedi putar raksasa. Kami kembali menjadi 2 kelompok, cara pembagiannya sama dengan wahana rumah hantu hanya saja kali ini Dini ikut sekelompok dengan Galih dan Rendy. Tanpa sepengetahuan Lisa, mereka bertiga tidak ikut naik gerbong komedi putar di gerbong selanjutnya setelah kami, namun mereka mempersiapkan rencana pamungkas kami. Aku duduk berseberangan dengan Lisa. Gerbong yang kami naiki lama-lama bergerak ke atas. Kuyakin pemandangan dari atas sini pasti sangat menarik untuk dilihat, tapi aku punya masalah kecil aku takut ketinggian, payah ya? untung saja Lisa tidak sedang memperhatikanku dan tampak sedang asyik melihat pemandangan diluar jendela gerbong.

Aku cukup lega sebab kini tinggal satu putaran terakhir. Namun sialnya komedi putar raksasa ini tiba-tiba berhenti dengan posisi gerbong kami berada paling atas. Dan yang menjadi penyebabnya adalah dimulainya acara pesta kembang api. Tak lama kemudian kembang api mulai bermunculan. Oh ya, perlu kuberitahu sesuatu aku juga sangat benci suara kembang api yang menggelegar, dan ditambah dengan ketinggian tempatku berada saat ini membuatku kembali ketakutan setengah mati, akupun mulai menangis dalam diam.

Tiba-tiba saja gerbongku berguncang dan sebuah pelukan hangat mendekapku. “Elli, aku tahu kau benci setan-setanan, ketinggian, dan kembang api. Jadi kenapa kau melakukan ini?” bisik Lisa lembut. “Kulakukan demi kau, Lisa...” jawabku. “Begitukah? Terima kasih ya... tapi tak seharusnya kau melakukan semua ini demi aku. Tapi tenang saja, aku ada untuk mu” Ucap Lisa. Kugenggam tangannya dengan erat. “Akulah yang seharusnya berkata begitu...” jawabku sambil manghapus air mata yang masih tersisa di kedua mataku. “Kaulah yang menyembunyikan kesedihanmu sendiri dan bersikap seolah tak terjadi apapun, bahkan disaat kau tahu kau tak dapat membendungnya sendiri lagi. Lisa, kau masih memiliki Kak Leo, aku, Dini, Galih, Rendy, dan teman-teman yang lain. Kau selalu ada dan menolong kami sekarang biarkanlah kami yang membantumu, ok?” ungkapku bersamaan dengan meledaknya kembang api terakhir dan terbesar yang melatar belakangi ucapanku. Lisa tersenyum lembut, “Terima kasih ya...” ucap Lisa tulus sambil memelukku erat. Tak lama kemudian komedi putar kembali berputar.

Sesaat setelah kami keluar gerbang, “Selamat ulang tahun, Lisa!!!” kami disambut dengan kue tart bertuliskan Happy 14th Birthday Lisa lengkap dengan keempat belas lilin yang telah menyala, yang dibawakan oleh Kak Leo diiringi oleh Dini, Galih, dan Rendy. Lisa tampak sangat terkejut. “Slamat ulang tahun adikku sayang...” ucap Kak Leo dengan senyum manisnya. Kami pun satu per satu mengucapkan selamat dan wish kami untuknya. Lisa tersenyum dan menangis haru. “Terima kasih kak! Terima kasih teman-teman! Aku sangat senang sekali... aku... aku...” Lisa kehabisan kata kata dan menangis, tapi kali ini kebahagian kembali terpancarkan dari wajahnya. Sungguh malam yang indah...


Sejak malam itu, Lisa kembali menjadi Lisa yang ceria dan periang seperti dulu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar