Lisa, begitulah ia akrab
dipanggil.Gadis berkerudung yang selalu ceria, periang, dan ramah pada semua
orang. Begitulah ia dahulu, sebelum kecelakaan mobil yang menewaskan kedua
orang tuanya itu terjadi. Semenjak kejadian itu, Lisa berubah menjadi seorang
pendiam dan pemurung. Sepertinya ia belum dapat merelakan peristiwa tersebut. Kami
para sahabatnya, yaitu Aku, Galih, Dini, dan Rendy dan Kak Leo, yaitu kakaknya
Lisa telah menempuh berbagai cara untuk membuat Lisa kembali dapat tersenyum
lepas, namun hasilnya selalu nihil.
Setahun telah berlalu, kami berlima
kembali merencanakan sesuatu untuk Lisa. Besok,tanggal 22 Juni 2015 adalah HUT
Jakarta yang ke-487 sekaligus hari ulang tahun Lisa yang ke-14. Kami berencana
mengajaknya ke PRJ (Pesta Rakyat Jakarta) yang berlokasi di . Kak Leo sangat
mendukung rencana kami. Sekarang adalah saat-saat penentuan. Akulah yang
bertugas untuk mengajaknya. Aku pun memulai aksiku setelah bel istirahat
berbunyi.
“Hai
Lisa! Sedang apa?” sapaku sekadar basa-basi. “Ada apa Elli?” tanggapnya yang
seolah tak menghiraukan pertanyaanku dan langsung menanyakan inti pembicaraan.
Dengan gugup aku berkata, “Em begini... kemarin ayahku mendapat 5 tiket gratis
ke PRJ dari perusahaannya, tapi ayah, ibu, dan kakak-kakakku sudah punya acara
masing-masing pada malam itu. Jadi, aku mengajakmu, Rendy, Dini, dan Galih
untuk pergi kesana bersamaku besok malam. Disana ada rumah hantu, pesta kembang
api, komedi putar, pameran, pokoknya pasti bakal seru deh!” terangku antusias. “Jadi...
kau mau ikut?”. Entah apa ia mendengarkanku atau tidak, sebab ia hanya terdian
dalam posisi tidur di lipatan tangannya. Meskipun aku tahu dia tidak sedang
tidur, namun menunggu jawaban yang tak kunjung datang selama 10 menit bukanlah
hal yang menyenangkan. Akupun menyerah, dengan langkah gontai aku beranjak dari
sana. “Tunggu...” Akupun berhenti melangkah dan menoleh. “Aku ikut...” jawabnya
datar dengan seulas senyum getir di bibirnya. Bukan senyum ini yang kuinginkan
darinya tapi tak apa, dia sudah setuju untuk ikut sudah membuatku senang tak
kepalang. “Terima kasih Lisa!” seruku gembira. Lalu akupun segera berlari untuk
menyampaikan berita gembira ini kepada teman-teman yang sedang menunggu di
taman sekolah sambil berharap-harap cemas.
Malam
yang ditunggu-tunggu pun tiba, kami berangkat dari rumahku pukul 07.00 WIB.
Kami berangkat dengan menggunakan mobil keluargaku. Selama diperjalanan, kami
terus berusaha mengajak Lisa mengobrol, namun ia tetap diam dan memandangi
lututnya yang mungkin adalah satu-satunya hal menarik untuk dipandang baginya
saat ini.
Setengah
jam kemudian kami sampai di tempat tujuan. “Kita sampai!” seru Dini antusias. “Hahaha...
Dini semangat banget nih!” komentar Rendy. “ Tau nih! Rame sendiri aja.” Tambah
Galih sambil nyengir. “Sudah-sudah, mendingan kita segera turun deh. Nanti
keburu ramai di pintu masuk. Benarkan Lisa?” tanyaku meminta persetujuan.
Sekali lagi Lisa hanya mengangguk dan tersenyum getir. Rencana kami untuk menghiburnya
selama diperjalanan pun gagal.
Setelah
masuk kedalam PRJ, kami segera menuju tempat pameran. “Wah, miniatur
negara-negara di dunia itu keren ya!” ungkapku pada Lisa setelah mengunjungi
salah satu stand pameran. “Benar...” jawab Lisa lirih. Dan begitulah, selama
kami berada di pameran, tak ada satupun hal ataupun perkataan kami yang
memulihkan sifat Lisa. Begitu pula setelah kami mengunjungi food court, bazar,
dan konser, semuanya gagal membuat
Lisa kembali ceria. Sekarang yang tersisa dari rencana kami adalah pada arena
wahana.
Kami
terbagi menjadi 2 kelompok pada saat mencoba wahana rumah hantu yang merupakan
salah satu wahana favorit Lisa. Kami terbagi menjadi Galih dengan Rendy dan Aku
dengan Lisa, sementara Dini menunggu diluar sebab tak berani untuk ikut bersama
kami. Berbagai macam setan-setan menghadang kami, mulai dari pocong,
kuntilanak, tuyul, dan setan-setanan lainnya. Berkali-kali aku menjerit
ketakutan, beda dengan Lisa yang bahkan tidak mengubah ekspresi wajahnya yang
datar itu sama sekali.
Begitu
kami berhasil keluar dari rumah hantu, lututku terasa lemas dan tubuhku terasa
dingin minus satu derajat. “Oi, oi, kau kenapa Elli? Ketakutan?” ledek Galih
jahil. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Rendy cemas. Dini dan Lisa hanya
memandangiku dengan tatapan yang sama, tatapan khawatir. Lho, kok malah aku
yang membuat cemas sih??? “Tidak apa-apa kok, rumah hantu mah kecil!” jawabku
secepat kilat, padahal sih sebenarnya aku benar-benar ketakutan untungnya aku
tak punya penyakit jantung. Semuanya tampak lega, begitupula dengan Lisa, tapi
disaat yang lainnya telah kembali bercanda tawa, ia masih tampak murung.
Kamipun
angkat kaki menuju tempat rencana terakhir, yaitu komedi putar raksasa. Kami
kembali menjadi 2 kelompok, cara pembagiannya sama dengan wahana rumah hantu hanya
saja kali ini Dini ikut sekelompok dengan Galih dan Rendy. Tanpa sepengetahuan
Lisa, mereka bertiga tidak ikut naik gerbong komedi putar di gerbong selanjutnya
setelah kami, namun mereka mempersiapkan rencana pamungkas kami. Aku duduk
berseberangan dengan Lisa. Gerbong yang kami naiki lama-lama bergerak ke atas.
Kuyakin pemandangan dari atas sini pasti sangat menarik untuk dilihat, tapi aku
punya masalah kecil aku takut ketinggian,
payah ya? untung saja Lisa tidak sedang memperhatikanku dan tampak sedang
asyik melihat pemandangan diluar jendela gerbong.
Aku
cukup lega sebab kini tinggal satu putaran terakhir. Namun sialnya komedi putar
raksasa ini tiba-tiba berhenti dengan posisi gerbong kami berada paling atas.
Dan yang menjadi penyebabnya adalah dimulainya acara pesta kembang api. Tak
lama kemudian kembang api mulai bermunculan. Oh ya, perlu kuberitahu sesuatu
aku juga sangat benci suara kembang api yang menggelegar, dan ditambah dengan
ketinggian tempatku berada saat ini membuatku kembali ketakutan setengah mati,
akupun mulai menangis dalam diam.
Tiba-tiba
saja gerbongku berguncang dan sebuah pelukan hangat mendekapku. “Elli, aku tahu
kau benci setan-setanan, ketinggian, dan kembang api. Jadi kenapa kau melakukan
ini?” bisik Lisa lembut. “Kulakukan demi kau, Lisa...” jawabku. “Begitukah? Terima
kasih ya... tapi tak seharusnya kau melakukan semua ini demi aku. Tapi tenang
saja, aku ada untuk mu” Ucap Lisa. Kugenggam tangannya dengan erat. “Akulah
yang seharusnya berkata begitu...” jawabku sambil manghapus air mata yang masih
tersisa di kedua mataku. “Kaulah yang menyembunyikan kesedihanmu sendiri dan
bersikap seolah tak terjadi apapun, bahkan disaat kau tahu kau tak dapat
membendungnya sendiri lagi. Lisa, kau masih memiliki Kak Leo, aku, Dini, Galih,
Rendy, dan teman-teman yang lain. Kau selalu ada dan menolong kami sekarang
biarkanlah kami yang membantumu, ok?” ungkapku bersamaan dengan meledaknya
kembang api terakhir dan terbesar yang melatar belakangi ucapanku. Lisa
tersenyum lembut, “Terima kasih ya...” ucap Lisa tulus sambil memelukku erat.
Tak lama kemudian komedi putar kembali berputar.
Sesaat
setelah kami keluar gerbang, “Selamat ulang tahun, Lisa!!!” kami disambut
dengan kue tart bertuliskan Happy 14th
Birthday Lisa lengkap dengan keempat belas lilin yang telah menyala, yang
dibawakan oleh Kak Leo diiringi oleh Dini, Galih, dan Rendy. Lisa tampak sangat
terkejut. “Slamat ulang tahun adikku sayang...” ucap Kak Leo dengan senyum
manisnya. Kami pun satu per satu mengucapkan selamat dan wish kami untuknya. Lisa tersenyum dan menangis haru. “Terima kasih
kak! Terima kasih teman-teman! Aku sangat senang sekali... aku... aku...” Lisa
kehabisan kata kata dan menangis, tapi kali ini kebahagian kembali terpancarkan
dari wajahnya. Sungguh malam yang indah...
Sejak
malam itu, Lisa kembali menjadi Lisa yang ceria dan periang seperti dulu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar