Kamis, 12 November 2015

kecewa

            “Ra, sebenarnya... gua... gua masih ada rasa sama lo...”

*brak!!* Kugebrak meja belajarku keras-keras agar lamunanku buyar. “Apa-apaan sih si Fikri itu! Bisa-bisanya dia bilang begitu! Dia kan udah punya pacar!” celotehku sendiri, mengingat pernyataan yang diucapkan oleh Fikri tadi siang. Kurebahkan tubuhku diatas kasur sambil berharab debar-debar dijantungku ini segera menghilang.

Kuakui, dulu Fikri pernah singgah di hatiku, bahkan hingga kini pun aku masih menaruh harapan padanya. Perasaan ini mulai tumbuh sejak kelas 7, yaitu sejak saat ia menyatakan perasaannya melalui surat cinta yang ia berikan padaku. Surat itu tampak konyol, namun dalam artian yang berbeda terlihat romantis dimataku. Aku yang tak pernah merasakan perasaan berdebar seperti inipun bingung untuk menanggapinya. Pada akhirnya kubalas surat itu dengan sebuah surat berisikan puisi karanganku yang semoga saja dapat menyampaikan perasaanku. Aku lupa kata-kata yang kutuliskan itu mungkin terlalu berat baginya, sebab aku yang merupakan seorang penyair puisi ini, ingin mengungkapkan rasa hatiku dengan seromantis yang kubisa.

Seminggu penuh kutunggu balasan yang tak kunjung tiba darinya. Tetap setiap hari kusiram bunga-bunga cinta berwujud mawar-mawar merah yang mulai tumbuh dihatiku. Aku terlena dengan indahnya mawar itu sehingga aku tergoda untuk memetiknya setangkai, namun ketika kupetik tangkai mawar tersebut tanganku terluka. Sama dengan perasaanku yang terluka begitu kutahu bahwa Fikri telah jadian dengan orang lain. *crack!* hatiku retak berkeping-keping dan taman bunga mawar itu layu seketika. Aku ingin menanyakan langsung untuk memastikan, tapi tanpa kutanya pun aku telah tahu jawabannya ketika ia menemuiku bersama seorang gadis seumuranku. Ya... pasti dia lah pacar baru Fikri. Aku tak sanggup bertanya, hanya seulas senyum yang dapat kupersembahkan untuk mereka. Hahaha... bodohnya aku, hampir saja aku terkena wabah virus merah jambu yang terkenal itu.

Tanpa terasa 3 bulan telah berlalu, kudapati kabar bahwa Fikri baru saja diputusi oleh pacarnya. Jadi saat ini aku tengah mencari keberadaannya. Lho, memangnya kenapa kalau aku peduli dengannya? Aku ini sahabatnya, asal kalian tahu aja... Akhirnya kutemukan dia sedang duduk termenung di saung belakang sekolah, sedirian. Akupun mengampirinya dan berusaha untuk menghiburnya. Tak lama kemudian Fikri berkata, “Thanks ya, Ra... elo emang sobat gue yang terbaik...” ujarnya tulus. Yup, beginilah posisiku saat ini. Hanya sebagai sahabat, gak lebih.

Belum sampai sebulan berita putusnya Fikri tersebar, ia sudah mendapatkan pacar baru. Well, ok fine... gue emang bukan siapa-siapa dia kok. Dan perjalanan “cinta Fikri” ini terus berulang hingga 8 episode, ups... maksudnya 8 kali. Sementara itu, aku terus menyimpan perasaanku padanya rapat-rapat di dalam hatiku, sehingga tak ada satupun yang tahu.

Sekarang, kami telah memasuki kelas 9. Kali ini Fikri berpacaran dengan adik kelas yang sekaligus merupakan sahabatku, Fitri. Selain nama mereka yang mirip, mereka juga merupakan dua sejoli yang serasi. Tak ada lagi celah bagiku untuk memasuki kisah mereka. Setidaknya akulah yang tak bisa, aku tak mau menghianati Fitri. Haah... Biarlah aku sendiri hanya ditemani puisi-puisiku saja. Aku sudah tak peduli...

Namun, tepat disaat aku memutuskan untuk membuang kenangan-kenangan penuh harapan palsu itu, tiba-tiba saja Fikri kembali datang dan mengucapkan kata-kata yang membuat hatiku kembali berdebar-debar dan membuka kembali semua kenangan-kenangan manis yang pernah kami alami. Sekali lagi, aku kembali bingung, benar-benar bingung. Jadi, sama dengan kelakuanku dulu, aku kembali mengirimkan surat berisikan puisi yang sama dengan yang kubuat 2 tahun yang lalu, hanya saja kali ini kutambahkan beberapa pertanyaan yang sangat kuingin tahu kepastiannya. Alasan terbesarku memilih menggunakan media surat adalah karena kutahu Fikri masih menjadi milik Fitri, dan aku ingin perasaanku ini hanya diketahui oleh Fikri seorang.

Aku kembali menunggu. Sekarang sudah memasuki hari ke-6 sejak kuberikan suratku padanya. Aku pun memberanikan diri untuk meminta jawabannya langsung padanya. Namun kalian tahu apa yang kuterima? Surat itu kembali lagi ketanganku dalam keadaan yang sama, tak ada tulisan maupun coretan sedikitpun diatasnya. Ku tatap wajahnya dengan penuh keheranan. “Em... puisinya bagus...” What?!! Hanya itu komentarnya?. Akupun memicingkan mataku dan menatapnya tajam. “Lho kenapa?... eh maaf ya Ra, gua mau ada les nih. Jadi, bye!” ujarnya dengan santai dan kemudian berlalu, meninggalkanku yang hanya diam termangu.


Aku kecewa... Benar-benar sangat kecewa... kuremas surat itu lalu kubuang asal ke tong sampar organik, aku sudah tak peduli lagi. Sekali lagi kurasakan sakitnya patah hati, dan penyebabnya adalah satu orang yang sama dengan yang menghancurkan harapanku 2 tahun yang lalu. Kini kuterduduk di bangku taman, menatap langit seraya menahan tangis yang hampir tak terbendung lagi.

Rabu, 11 November 2015

Kenangan Penantian

           Namaku Byanca, aku seorang siswi kelas 9. Kutuliskan kisah ini sebagai pelampiasan atas kisah cintaku di masa SMP ini.

            Pagi itu, entah kenapa aku datang terlalu pagi dari biasanya. Masih pukul 05.55. Akupun segera menuju ruang kelasku, duduk dibarisan kedua kemudian segera mengambil headsetku sambil menunggu kedatangan Qilah sahabatku. Baru saja 15 menit, aku sudah bosan menunggu. Hanya ada beberapa siswa yang telah datang dan aku sedang tak ada minat untuk mengobrol dengan mereka seperti biasanya.

Tepat disaat aku hendak pergi keluar kelas, tiba-tiba datang seorang anak laki-laki yand datang dengan berlari-lari dan menabrakku. Kutatap wajahnya kesal, “Heh, punya mata gak sih lo!!” bentakku saat itu. “Sorry gak sengaja...” jawabnya singkat. Kutolak uluran tangannya yang ia maksudkan untuk menolongku. Aku meninggalkannya. Tak lama kemudian Qilah datang.

“Eh, qil, Tau gak anak yang duduknya didepan kita itu siapa?” tanyaku. Qilah memperatikan sosok yang kumaksud, “Oh maksud lo Reza? Ya tahu lah gua! Orang gua dulu sekelas sama dia...” terang Qilah. “Emangnya kenapa?”. Kujawab, “dia nih, udah bikin gua sewot dipagi hari”.“Ah masa’ sih?” Tanggap Qilah. Namun, sebelum kutambah lagi percakapan kami, orang yang sedang kami bicarakan itu berbalik badan dan menghadap kearah kami. “Eh, Qilah, ketemu lagi nih!” seru Reza. “Iya nih...” jawab Qilah. Qilah dan Reza sempat terlibat percakapan yang cukup panjang, sementara aku hanya bisa jadi seorang pendengar setia. Tak lama kemuian Reza melirik kearahku, “Eh, elo orang yang gua tabrak tadi kan? Sorry ya, beneran gak sengaja tadi...” ujarnya. “Hah? Iya...” aku yang sedang tak telalu menghiraukannya hanya menjawab sekenanya saja.

Tiba-tiba dengan gaya yang sok keren dan pede abis dia meminta pin BB ku. “Boleh minta pin BB lo gak?” tanyanya. “Buat apa?” balasku. “Ya buat save contact aja...” ujarnya. “Oh...” akupun menyebutkan pin BB ku. “Thanks ya!” ucapnya lalu berbalik kembali kearah depan, sebab pak guru sudah datang. “Eh, bi, jangan-janga lo suka ya sama Reza?” bisik Qilah mengejutkanku. “Dih, apaan sih? Gak jelas...” tanggapku dengan mimik muka jijik. “Ya, lagian elo itukan susah banget dimintain No hp, apalagi Pin BB. Kok lo tadi ngasih ke dia secepet itu?” tanya Qilah dengan nada meledek. “Males berurusan sama orang kayak gitu lama-lama” jawabku seadanya. “hahaha begitu ya? entar juga lama-lama elo kecantol ama dia, dia tuh orangnya manis lho.” Seulas senyum jahil menghias wajah Qilah dan dibalas dengan bahasa tubuh begidik dan wajah jijik dariku. Tanpa kusadari, semuanya berawal dari sini...

Malamnya, disaat aku tengah asyik menonton video di Youtube, BB ku berbunyi. Aku langsung menceknya, kira-kira siapa yang nge-BBM pada larut malam seperti ini? Ping!!!... “siapa?” tanyaku lewat chat. “Ini gue, Reza...” balasnya secepat kilat. “ada apa malam-malam begini?” tanyaku. “em... gue mau nanya soal jadwal besok dong!! Jbalasnya. Kuputar bola mataku, aku sudah malas bergerak jadi ku jawab asal, “B. Ing, IPS, IPA, MTK” kutekan tombol send. Belum lama kuletakkan, BB ku itu sudah kembali berdering. “Masa sih? Kata Qilah jadwalnya PKN, Penjas, B. Indo, dan TIK...”. Kujawab segera... “Udah tahu kok masih nanya” balasku kesal. Lalu BB ku ku ‘anggurin’ sejenak untuk kembali menonton youtube. Begitu video yang kutonton selesai kuperiksa lagi BB ku. Ada 10 notification dari orang yang sama, Reza dan dia msih online. Akupun membalas chatnya satu persatu. Lama kelamaan chat kami menjadi semakin seru hingga pada akhirnya aku dikalahkan oleh rasa ngantuk dan tertidur.

Aku dan Reza telah saling chattingan selama berhari-hari. Hubungan kami di sekolah pun jadi lebih baik daripada saat kami baru saling kenal. Suatu hari, orang tuaku bilang aku harus mengikuti les bimbel. Jadi, aku masuk ke bimbel SJ. Secara kebetulan, ternyata Reza juga les di bimbel yang sama. Hubungan kami pun semakin dekat. Sepulangnya dari les aku mengatakan pada Reza untuk mengantarkanku pulang, hanya bercanda tentu saja. “Eh, jadi lo gak dijemput? Ya... ok deh, gua antar lo sampai rumah...” ujar Reza setuju. ‘Lho kok jadi beneran sih?. Ah biarlah, hemat ongkos’ pikirku saat itu. Jadi ia pun mengantarku pulang. Aku diboncengi motor... hanya ada kami berdua... *blush* jika kami ada di film-film mungkin wajahku sudah dirias sehingga pipiku merona merah. Jantungku berdebar-debar. Aku baru saja menyadari satu hal, aku menyukai Reza... OMG!!

Sudah 2 bulan aku memendam rasa pada Reza, haruskah kunyatakan perasaanku padanya? Jangan! Cewek macam apa aku jika seperti itu jalannya. Hatiku berdebat sendiri. Akupun memutuskan untuk mengirimkan kode-kode cinta, ya... kalau di film-film sih biasanya berhasil.

Sekarang sudah memasuki bulan ketiga semenjak kusadari perasaanku ini. Kode-kode yang kukirimkan tak menunjukkan adanya balasan. Ya udah deh, jadinya harus waiting sampai si doi peka. Ternyata, sementara aku menunggunya membalas kodeku, ia sudah ada yang punya. Qilah bilang dia baru saja jadian seminggu yang lalu. Dan tragisnya, Reza jadian dengan MANTAN SAHABAT ku, Nisa. *prang!* sekejap hatiku hancur berkeping-keping. Untungnya aku menerima kabar itu pada malam hari di hari sabtu,  jadi akupun menangis sepuasnya sepanjang malam. Harapanku sirna. Segera kubatalkan rencanaku untuk ber CFD dengannya dan Qilah besok pagi.

Keesokan paginya mataku sembab karena menangis semalaman. Aku tak bisa tidur mengingat kenangan-kenangan manis yang pernah kami lalui. Hampir saja air mata kembali berderaian dari mataku, namun kutahan. ‘Aku tak boleh begini terlalu lama...’ tekadku. Akupun bertekad untuk melupakan dia. Lalu semenjak saat itu, hubungan kami berdua kembali seperti dulu, membeku. Tapi sejujurnya, bohong jika kukatakan aku sudah tak sayang dia.

Setelah 2 bulan keadaan saling cuek itu berlangsung, aku mendapat kabar gembira bahwa dia dan Nisa sudah putus. P-U-T-U-S!!!. Yep, dan itu artinya aku bisa kembali berkesempatan untuk mendapatkannya. Aku mulai memperbaiki hubungan kami dengan kembali berkomunikasi dengannya, namun keadaan sebenarnya adalah aku kembali memulainya dari nol, tapi tak apa bagiku.

Sudah satu semester berlalu, aku masih belum dapat pindah dari daerah  friendzone ke tahap yang lebih. Aku kembali ke masa laluku. Kami masih saling ngechat dan nongkrong bareng sepulang sekolah. Tapi seperti yang kukatakan tadi, aku masih belum dapat mendapatkan tempat dihatinya. Haaah... Apalah daya. Yang bisa kulakukan sekarang adalah menatapnya, dan menunggu dalam diam. Ya... menunggu kepastian yang tak kunjung datang dalam penantian panjang penuh keheningan.

full story

Karya                    : Infaroyya Al Karimah Muhamad
Inspirasi dari      : Tiara Amelia Midas



Tersenyumlah Lisa

           Lisa, begitulah ia akrab dipanggil.Gadis berkerudung yang selalu ceria, periang, dan ramah pada semua orang. Begitulah ia dahulu, sebelum kecelakaan mobil yang menewaskan kedua orang tuanya itu terjadi. Semenjak kejadian itu, Lisa berubah menjadi seorang pendiam dan pemurung. Sepertinya ia belum dapat merelakan peristiwa tersebut. Kami para sahabatnya, yaitu Aku, Galih, Dini, dan Rendy dan Kak Leo, yaitu kakaknya Lisa telah menempuh berbagai cara untuk membuat Lisa kembali dapat tersenyum lepas, namun hasilnya selalu nihil.

            Setahun telah berlalu, kami berlima kembali merencanakan sesuatu untuk Lisa. Besok,tanggal 22 Juni 2015 adalah HUT Jakarta yang ke-487 sekaligus hari ulang tahun Lisa yang ke-14. Kami berencana mengajaknya ke PRJ (Pesta Rakyat Jakarta) yang berlokasi di . Kak Leo sangat mendukung rencana kami. Sekarang adalah saat-saat penentuan. Akulah yang bertugas untuk mengajaknya. Aku pun memulai aksiku setelah bel istirahat berbunyi.

“Hai Lisa! Sedang apa?” sapaku sekadar basa-basi. “Ada apa Elli?” tanggapnya yang seolah tak menghiraukan pertanyaanku dan langsung menanyakan inti pembicaraan. Dengan gugup aku berkata, “Em begini... kemarin ayahku mendapat 5 tiket gratis ke PRJ dari perusahaannya, tapi ayah, ibu, dan kakak-kakakku sudah punya acara masing-masing pada malam itu. Jadi, aku mengajakmu, Rendy, Dini, dan Galih untuk pergi kesana bersamaku besok malam. Disana ada rumah hantu, pesta kembang api, komedi putar, pameran, pokoknya pasti bakal seru deh!” terangku antusias. “Jadi... kau mau ikut?”. Entah apa ia mendengarkanku atau tidak, sebab ia hanya terdian dalam posisi tidur di lipatan tangannya. Meskipun aku tahu dia tidak sedang tidur, namun menunggu jawaban yang tak kunjung datang selama 10 menit bukanlah hal yang menyenangkan. Akupun menyerah, dengan langkah gontai aku beranjak dari sana. “Tunggu...” Akupun berhenti melangkah dan menoleh. “Aku ikut...” jawabnya datar dengan seulas senyum getir di bibirnya. Bukan senyum ini yang kuinginkan darinya tapi tak apa, dia sudah setuju untuk ikut sudah membuatku senang tak kepalang. “Terima kasih Lisa!” seruku gembira. Lalu akupun segera berlari untuk menyampaikan berita gembira ini kepada teman-teman yang sedang menunggu di taman sekolah sambil berharap-harap cemas.

Malam yang ditunggu-tunggu pun tiba, kami berangkat dari rumahku pukul 07.00 WIB. Kami berangkat dengan menggunakan mobil keluargaku. Selama diperjalanan, kami terus berusaha mengajak Lisa mengobrol, namun ia tetap diam dan memandangi lututnya yang mungkin adalah satu-satunya hal menarik untuk dipandang baginya saat ini.

Setengah jam kemudian kami sampai di tempat tujuan. “Kita sampai!” seru Dini antusias. “Hahaha... Dini semangat banget nih!” komentar Rendy. “ Tau nih! Rame sendiri aja.” Tambah Galih sambil nyengir. “Sudah-sudah, mendingan kita segera turun deh. Nanti keburu ramai di pintu masuk. Benarkan Lisa?” tanyaku meminta persetujuan. Sekali lagi Lisa hanya mengangguk dan tersenyum getir. Rencana kami untuk menghiburnya selama diperjalanan pun gagal.

Setelah masuk kedalam PRJ, kami segera menuju tempat pameran. “Wah, miniatur negara-negara di dunia itu keren ya!” ungkapku pada Lisa setelah mengunjungi salah satu stand pameran. “Benar...” jawab Lisa lirih. Dan begitulah, selama kami berada di pameran, tak ada satupun hal ataupun perkataan kami yang memulihkan sifat Lisa. Begitu pula setelah kami mengunjungi food court, bazar, dan konser, semuanya gagal membuat Lisa kembali ceria. Sekarang yang tersisa dari rencana kami adalah pada arena wahana.

Kami terbagi menjadi 2 kelompok pada saat mencoba wahana rumah hantu yang merupakan salah satu wahana favorit Lisa. Kami terbagi menjadi Galih dengan Rendy dan Aku dengan Lisa, sementara Dini menunggu diluar sebab tak berani untuk ikut bersama kami. Berbagai macam setan-setan menghadang kami, mulai dari pocong, kuntilanak, tuyul, dan setan-setanan lainnya. Berkali-kali aku menjerit ketakutan, beda dengan Lisa yang bahkan tidak mengubah ekspresi wajahnya yang datar itu sama sekali.

Begitu kami berhasil keluar dari rumah hantu, lututku terasa lemas dan tubuhku terasa dingin minus satu derajat. “Oi, oi, kau kenapa Elli? Ketakutan?” ledek Galih jahil. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Rendy cemas. Dini dan Lisa hanya memandangiku dengan tatapan yang sama, tatapan khawatir. Lho, kok malah aku yang membuat cemas sih??? “Tidak apa-apa kok, rumah hantu mah kecil!” jawabku secepat kilat, padahal sih sebenarnya aku benar-benar ketakutan untungnya aku tak punya penyakit jantung. Semuanya tampak lega, begitupula dengan Lisa, tapi disaat yang lainnya telah kembali bercanda tawa, ia masih tampak murung.

Kamipun angkat kaki menuju tempat rencana terakhir, yaitu komedi putar raksasa. Kami kembali menjadi 2 kelompok, cara pembagiannya sama dengan wahana rumah hantu hanya saja kali ini Dini ikut sekelompok dengan Galih dan Rendy. Tanpa sepengetahuan Lisa, mereka bertiga tidak ikut naik gerbong komedi putar di gerbong selanjutnya setelah kami, namun mereka mempersiapkan rencana pamungkas kami. Aku duduk berseberangan dengan Lisa. Gerbong yang kami naiki lama-lama bergerak ke atas. Kuyakin pemandangan dari atas sini pasti sangat menarik untuk dilihat, tapi aku punya masalah kecil aku takut ketinggian, payah ya? untung saja Lisa tidak sedang memperhatikanku dan tampak sedang asyik melihat pemandangan diluar jendela gerbong.

Aku cukup lega sebab kini tinggal satu putaran terakhir. Namun sialnya komedi putar raksasa ini tiba-tiba berhenti dengan posisi gerbong kami berada paling atas. Dan yang menjadi penyebabnya adalah dimulainya acara pesta kembang api. Tak lama kemudian kembang api mulai bermunculan. Oh ya, perlu kuberitahu sesuatu aku juga sangat benci suara kembang api yang menggelegar, dan ditambah dengan ketinggian tempatku berada saat ini membuatku kembali ketakutan setengah mati, akupun mulai menangis dalam diam.

Tiba-tiba saja gerbongku berguncang dan sebuah pelukan hangat mendekapku. “Elli, aku tahu kau benci setan-setanan, ketinggian, dan kembang api. Jadi kenapa kau melakukan ini?” bisik Lisa lembut. “Kulakukan demi kau, Lisa...” jawabku. “Begitukah? Terima kasih ya... tapi tak seharusnya kau melakukan semua ini demi aku. Tapi tenang saja, aku ada untuk mu” Ucap Lisa. Kugenggam tangannya dengan erat. “Akulah yang seharusnya berkata begitu...” jawabku sambil manghapus air mata yang masih tersisa di kedua mataku. “Kaulah yang menyembunyikan kesedihanmu sendiri dan bersikap seolah tak terjadi apapun, bahkan disaat kau tahu kau tak dapat membendungnya sendiri lagi. Lisa, kau masih memiliki Kak Leo, aku, Dini, Galih, Rendy, dan teman-teman yang lain. Kau selalu ada dan menolong kami sekarang biarkanlah kami yang membantumu, ok?” ungkapku bersamaan dengan meledaknya kembang api terakhir dan terbesar yang melatar belakangi ucapanku. Lisa tersenyum lembut, “Terima kasih ya...” ucap Lisa tulus sambil memelukku erat. Tak lama kemudian komedi putar kembali berputar.

Sesaat setelah kami keluar gerbang, “Selamat ulang tahun, Lisa!!!” kami disambut dengan kue tart bertuliskan Happy 14th Birthday Lisa lengkap dengan keempat belas lilin yang telah menyala, yang dibawakan oleh Kak Leo diiringi oleh Dini, Galih, dan Rendy. Lisa tampak sangat terkejut. “Slamat ulang tahun adikku sayang...” ucap Kak Leo dengan senyum manisnya. Kami pun satu per satu mengucapkan selamat dan wish kami untuknya. Lisa tersenyum dan menangis haru. “Terima kasih kak! Terima kasih teman-teman! Aku sangat senang sekali... aku... aku...” Lisa kehabisan kata kata dan menangis, tapi kali ini kebahagian kembali terpancarkan dari wajahnya. Sungguh malam yang indah...


Sejak malam itu, Lisa kembali menjadi Lisa yang ceria dan periang seperti dulu lagi.