“Ra, sebenarnya...
gua... gua masih ada rasa sama lo...”
*brak!!*
Kugebrak meja belajarku keras-keras agar lamunanku buyar. “Apa-apaan sih si
Fikri itu! Bisa-bisanya dia bilang begitu! Dia kan udah punya pacar!” celotehku
sendiri, mengingat pernyataan yang diucapkan oleh Fikri tadi siang. Kurebahkan
tubuhku diatas kasur sambil berharab debar-debar dijantungku ini segera
menghilang.
Kuakui,
dulu Fikri pernah singgah di hatiku, bahkan hingga kini pun aku masih menaruh
harapan padanya. Perasaan ini mulai tumbuh sejak kelas 7, yaitu sejak saat ia
menyatakan perasaannya melalui surat cinta yang ia berikan padaku. Surat itu
tampak konyol, namun dalam artian yang berbeda terlihat romantis dimataku. Aku
yang tak pernah merasakan perasaan berdebar seperti inipun bingung untuk
menanggapinya. Pada akhirnya kubalas surat itu dengan sebuah surat berisikan
puisi karanganku yang semoga saja dapat menyampaikan perasaanku. Aku lupa
kata-kata yang kutuliskan itu mungkin terlalu berat baginya, sebab aku yang
merupakan seorang penyair puisi ini, ingin mengungkapkan rasa hatiku dengan
seromantis yang kubisa.
Seminggu
penuh kutunggu balasan yang tak kunjung tiba darinya. Tetap setiap hari kusiram
bunga-bunga cinta berwujud mawar-mawar merah yang mulai tumbuh dihatiku. Aku
terlena dengan indahnya mawar itu sehingga aku tergoda untuk memetiknya
setangkai, namun ketika kupetik tangkai mawar tersebut tanganku terluka. Sama
dengan perasaanku yang terluka begitu kutahu bahwa Fikri telah jadian dengan
orang lain. *crack!* hatiku retak berkeping-keping dan taman bunga mawar itu
layu seketika. Aku ingin menanyakan langsung untuk memastikan, tapi tanpa
kutanya pun aku telah tahu jawabannya ketika ia menemuiku bersama seorang gadis
seumuranku. Ya... pasti dia lah pacar baru Fikri. Aku tak sanggup bertanya,
hanya seulas senyum yang dapat kupersembahkan untuk mereka. Hahaha... bodohnya
aku, hampir saja aku terkena wabah virus merah jambu yang terkenal itu.
Tanpa
terasa 3 bulan telah berlalu, kudapati kabar bahwa Fikri baru saja diputusi
oleh pacarnya. Jadi saat ini aku tengah mencari keberadaannya. Lho, memangnya
kenapa kalau aku peduli dengannya? Aku ini sahabatnya, asal kalian tahu aja...
Akhirnya kutemukan dia sedang duduk termenung di saung belakang sekolah,
sedirian. Akupun mengampirinya dan berusaha untuk menghiburnya. Tak lama
kemudian Fikri berkata, “Thanks ya, Ra... elo emang sobat gue yang terbaik...”
ujarnya tulus. Yup, beginilah posisiku saat ini. Hanya sebagai sahabat, gak lebih.
Belum
sampai sebulan berita putusnya Fikri tersebar, ia sudah mendapatkan pacar baru.
Well, ok fine... gue emang bukan
siapa-siapa dia kok. Dan perjalanan “cinta Fikri” ini terus berulang hingga
8 episode, ups... maksudnya 8 kali. Sementara itu, aku terus menyimpan
perasaanku padanya rapat-rapat di dalam hatiku, sehingga tak ada satupun yang
tahu.
Sekarang,
kami telah memasuki kelas 9. Kali ini Fikri berpacaran dengan adik kelas yang
sekaligus merupakan sahabatku, Fitri. Selain nama mereka yang mirip, mereka
juga merupakan dua sejoli yang serasi. Tak ada lagi celah bagiku untuk memasuki
kisah mereka. Setidaknya akulah yang tak bisa, aku tak mau menghianati Fitri.
Haah... Biarlah aku sendiri hanya ditemani puisi-puisiku saja. Aku sudah tak
peduli...
Namun,
tepat disaat aku memutuskan untuk membuang kenangan-kenangan penuh harapan
palsu itu, tiba-tiba saja Fikri kembali datang dan mengucapkan kata-kata yang
membuat hatiku kembali berdebar-debar dan membuka kembali semua
kenangan-kenangan manis yang pernah kami alami. Sekali lagi, aku kembali
bingung, benar-benar bingung. Jadi, sama dengan kelakuanku dulu, aku kembali
mengirimkan surat berisikan puisi yang sama dengan yang kubuat 2 tahun yang
lalu, hanya saja kali ini kutambahkan beberapa pertanyaan yang sangat kuingin
tahu kepastiannya. Alasan terbesarku memilih menggunakan media surat adalah
karena kutahu Fikri masih menjadi milik Fitri, dan aku ingin perasaanku ini
hanya diketahui oleh Fikri seorang.
Aku
kembali menunggu. Sekarang sudah memasuki hari ke-6 sejak kuberikan suratku
padanya. Aku pun memberanikan diri untuk meminta jawabannya langsung padanya.
Namun kalian tahu apa yang kuterima? Surat itu kembali lagi ketanganku dalam
keadaan yang sama, tak ada tulisan maupun coretan sedikitpun diatasnya. Ku
tatap wajahnya dengan penuh keheranan. “Em... puisinya bagus...” What?!! Hanya itu komentarnya?. Akupun
memicingkan mataku dan menatapnya tajam. “Lho kenapa?... eh maaf ya Ra, gua mau
ada les nih. Jadi, bye!” ujarnya dengan santai dan kemudian berlalu,
meninggalkanku yang hanya diam termangu.
Aku
kecewa... Benar-benar sangat kecewa...
kuremas surat itu lalu kubuang asal ke tong sampar organik, aku sudah tak
peduli lagi. Sekali lagi kurasakan sakitnya patah hati, dan penyebabnya adalah
satu orang yang sama dengan yang menghancurkan harapanku 2 tahun yang lalu.
Kini kuterduduk di bangku taman, menatap langit seraya menahan tangis yang
hampir tak terbendung lagi.